ISLAM YA ISLAM, TANPA EMBEL-EMBEL


Buletin Dakwah Kaffah No. 213 (01 Rabiul Awwal 1443 H/08 Oktober 2021 M)

Saat ini, salah satu proyek yang sedang ramai dijalankan, adalah proyek moderasi agama. Proyek ini menjadikan Islam dan kaum Muslim sebagai sasaran utamanya. Proyek ini tidak bisa dilepaskan dari pengarusutamaan Islam moderat. Proyek moderasi agama bertujuan untuk menancapkan paham Islam moderat dan menjadikan kaum Muslim menjadi Muslim moderat. Proyek ini menyasar para guru agama, mahasiswa, kaum milenial hingga kalangan pesantren.

Islam Moderat

Menurut Janine A Clark, Islam moderat adalah “Islam” yang menerima sistem demokrasi. Sebaliknya, Islam radikal adalah Islam yang menolak demokrasi dan sekularisme. Moderasi Islam dalam pengertian ini bermakna membangun Islam yang menerima demokrasi dan kesetaraan gender (Tazul Islam, Amina Khatun, Islamic Moderate in Perspectives: A Comparison Between Oriental and Occidental Scholarships, International Journal of Nusantara Islam, Volume 03, No.2, 2015).

Moderasi Islam bisa dimaknai sebagai proses menjadikan Muslim sebagai Muslim moderat. Karakter Muslim moderat dapat dipahami, salah satunya, dari sebuah buku yang dikeluarkan oleh Rand Corporation tahun 2007, berjudul Building Moderate Muslim Network, pada bab 5 tentang Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World (Peta Jalan untuk Membangun Jaringan Moderat di Dunia Muslim). Buku ini termasuk salah satu rujukan tentang Muslim moderat. Dalam salah satu anak judulnya dijelaskan tentang karakteristik Muslim moderat (Characteristics of Moderate Muslims). Muslim moderat adalah orang yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi. Termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme; menerima sumber-sumber hukum non-sektarian; serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan (Angel Rabasa, Cheryl Benard et all, Building Moderate Muslim Network, hlm. 66, RAND Corporation, 2007).

Alhasil, Islam moderat adalah pemahaman Islam yang disesuaikan dengan pemikiran, pemahaman dan peradaban Barat. Dengan demikian Muslim moderat adalah sosok Muslim yang menerima, mengadopsi, menyebarkan dan menjalankan pemahaman Islam ala Barat.

Makna Umat[an] Wasath[an]

Pemahaman Islam moderat lalu dibungkus dengan istilah Islam wasathiyah. Wasathiyah diambil dari istilah al-Quran, wasathan. Inilah yang Allah jadikan sebagai salah satu sifat umat Islam. Namun, istilah wasath[an] ini hanya dicomot dan dijadikan sebagai “wadah”, sementara isinya dijejali dengan pemahaman Islam moderat yang tidak lain adalah Islam yang sesuai selera Barat.

Karena itu penting untuk mengembalikan istilah wasath[an] ke makna yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh al-Quran.

Secara bahasa, makna al-wasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding, pertengahan (Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfâzh al-Qur’ân, jilid II, entri w-s-th). Kata ini juga bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau: tengah kota (Ibnu ‘Asyur, At-Tahrir wa at-Tanwir, II/17).

Allah SWT berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat[an] wasath[an] agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian (TQS al-Baqarah [2]: 143).

Imam ath-Thabari dalam menjelaskan makna wasath[an] tersebut menukil 13 riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna adil (al-‘adlu). Pasalnya, hanya orang-orang yang adil yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan. Abu Said al-Khudri ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda tentang firman Allah SWT:

وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا قَال: عُدُوْلًا

Demikian pula Kami menjadikan kalian umat yang wasath[an]. Beliau berkata, “(yakni) yang adil.” (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Selain bermakna adil, menurut Mahmud Syaltut, ummat[an] wasath[an] juga berarti umat pilihan (Mahmud Syaltut, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, hlm. 7).

Syaikh ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan umat Muhammad saw. sebagai umat yang adil di antara semua umat untuk menjadi saksi atas mereka. Allah SWT menjadikan umat ini dengan sifat (al-ummah al-wasath), yakni umat yang adil untuk menjadi saksi atas manusia. Keadilan merupakan syarat pokok untuk bersaksi. Al-Wasath dalam perkataan orang-orang Arab bermakna al-khiyâr (pilihan). Orang terpilih dari umat manusia adalah mereka yang adil (‘Atha bin Khalil, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Surah al-Baqarah, hlm. 177).

Jadi makna umat Islam sebagai umat[an] wasath[an], yakni umat yang adil. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempat semestinya, yakni sesuai syariah. Untuk menjadi umat[an] wasath[an], umat Islam tidak boleh melampaui batas seperti kaum Nasrani, di antaranya dengan membuat hukum sendiri; juga tidak boleh enggan dan lalai seperti Yahudi yang enggan dan tidak mau menerapkan syariah mereka. Untuk menjadi umat[an] wasath[an] umat Islam justru harus mengambil dan menerapkan totalitas syariah Islam. Tidak membuat hukum sendiri yang bertentangan dengan syariah Islam.

Islam yang Sebenarnya

Kita hidup di dunia ini bukan atas kehendak kita sendiri, tetapi atas kehendak Allah SWT. Bagaimana kita menjalani hidup dan mengelola kehidupan dunia ini tidak boleh menurut keinginan kita sendiri, melainkan harus mengikuti apa yang Allah kehendaki. Untuk itu kita harus mengambil dan mengikuti ‘manual book’ yang telah diberikan oleh Allah SWT, yakni al-Quran dan as-Sunnah, dalam mengelola kehidupan ini.

Satu perkara yang sudah jelas, Allah SWT memerintahkan kita untuk berislam atau beragama secara kaffah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).

As-Samarqandi (w. 373 H) menjelaskan maknanya, “…Masuklah kalian ke dalam semua syariah Islam dan jangan kalian mengikuti langkah-langkah setan…” (As-Samarqandi, Bahru al-‘Ulûm, 1/173).

Al-Hafizh Ibnu Katsir juga menjelaskan, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya agar masuk ke semua simpul dan syariah Islam serta mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangannya semampu mereka.

Jadi dalam berislam, kita diperintahkan untuk mengambil Islam dan syariahnya secara keseluruhan. Kita tidak boleh berislam model prasmanan. Yang menarik diambil, yang enak diikuti dan yang mudah dijalankan. Sebaliknya, yang tidak menarik tidak diambil, yang tidak mengenakkan tidak diikuti dan yang sulit tidak dijalankan.

Sudah jelas Allah SWT memerintahkan kita untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali kalian tetap dalam keadaan Muslim (TQS Ali Imran [3]: 102).

Imam al-Baidhawi (w. 685 H) menjelaskan, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya dan (menjalankan) apa saja yang diwajibkan, yaitu mengerahkan segenap upaya dalam melakukan kewajiban dan menjauhi keharaman.” (Al-Baydhawi, Anwâru at-Tanzîl wa Asrâru at-Ta`wîl, 1/373).

Dalam menjalankan perintah takwa ini, Allah SWT berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Karena itu bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian (TQS at-Taghabun [64]: 16).

Rasul saw. juga bersabda:

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشَّيْءِ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِالشَّيْءِ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Karena itu jika aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah dan jika aku memerintahkan sesuatu maka lakukan sesuai kemampuan kalian (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, al-Humaidi, Ibnu Hibban dan Abu Ya’la).

Allah SWT pun memerintahkan kita untuk menjadi penolong agama-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنصَارَ اللَّهِ

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penolong (agama) Allah (TQS ash-Shaff [61]: 14).

Menurut Imam al-Baghawi (w. 510 H) dalam Ma’âlim at-Tanzîl, maknanya adalah: jadilah kalian penolong agama Allah. Adapun menurut Imam al-Maturidi (w. 333 H) dalam Ta`wîlâtu Ahli as-Sunnah, ‘menolong Allah’ bermakna menolong agama-Nya atau Rasul-Nya.

Jika seorang Muslim mengambil Islam dan syariahnya secara kaffah, bertakwa dengan sebenar-benarnya dengan menjalankan semua yang diperintahkan semaksimal kemampuan dan meninggalkan apa yang dilarang, serta menolong dan membela agama-Nya, lantas dia disebut apa? Yang jelas dia adalah seorang Muslim sebagaimana yang Allah perintahkan dan Dia ridhai. Jika Muslim semacam ini dianggap bukan sosok Muslim moderat atau ia dituding sebagai Muslim radikal atau sebutan stigmatik lainnya, semua itu tidak ada arti dan nilainya selama Allah SWT ridha.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

—*—

Hikmah:

Rasul saw. bersabda:

مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ

Siapa saja yang mencari ridha Allah meski harus menanggung kemarahan manusia, Allah pasti akan menyelamatkan dirinya dari kezaliman manusia. Siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah, Allah akan menyerahkan urusannya kepada manusia. (HR at-Tirmidzi dan Ibnu al-Mubarak). []

—*—

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah213m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah213

HIJRAH: PENGORBANAN DAN PERUBAHAN


Buletin Dakwah Kaffah No. 205 (04 Muharram 1443 H/13 Agustus 2021)

Tahun 1442 H sudah berlalu. Kita sekarang berada di tahun baru 1443 H. Beragam suasana duka terjadi sepanjang tahun lalu. Pandemi sudah berlangsung dua tahun. Krisis ekonomi makin membuat kehidupan negeri terpuruk. Korupsi terus merajalela. Beragam penistaan terhadap ajaran Islam serta ketidakadilan hukum terus ditimpakan kepada tokoh-tokoh umat. Karena itu besar harapan dan keinginan umat agar momen hijrah dapat mengubah keadaan negeri ini menuju suasana yang lebih islami, berada di jalan yang diridhai Allah SWT.

Keyakinan dan Pengorbanan

Peristiwa hijrah Nabi saw. bersama para sahabat beliau dari Makkah ke Madinah disepakati sebagai awal penanggalan kalender Hijrah atas usul Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Hal ini dicatat oleh Ibnu al-Jauziy dalam kitabnya, Al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam (4/227).

Dengan menelaah Sirah Nabi saw., siapapun akan paham bahwa hijrah Nabi saw. dan para sahabat adalah peristiwa besar, bahkan menjadi tonggak tegaknya Islam di muka bumi. Melalui hijrah, Islam menjadi kekuatan besar yang menebarkan rahmat ke seluruh umat manusia. Berbeda dengan sebelumnya, selama 13 tahun di Makkah, dakwah Islam menemui kesukaran bahkan jalan buntu. Caci-maki hingga penganiayaan dialami Rasulullah saw. dan para sahabat. Hal ini yang sempat membuat Rasulullah saw. berduka hingga turun ayat yang menghibur beliau:

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ

Sungguh telah didustakan pula para rasul sebelum kamu. Lalu mereka sabar atas pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Sungguh telah datang kepadamu sebagian dari berita para rasul itu (TQS al-An’am [6]: 34).

Imam Ibnu Katsir menerangkan: “Ayat ini merupakan hiburan bagi hati Nabi Muhammad saw., ungkapan dukungan kepada beliau dalam menghadapi orang-orang yang mendustakan beliau dari kalangan kaum beliau, serta perintah kepada beliau agar bersabar sebagaimana sikap sabar ulul ‘azmi dari kalangan para rasul terdahulu. Ayat ini pun mengandung janji Allah kepada Nabi-Nya bahwa Dia akan menolong dirinya sebagaimana Dia telah menolong para rasul terdahulu, kemudian mereka memperoleh kemenangan. Pada akhirnya akibat yang baik diperoleh para rasul sesudah mereka mengalami pendustaan dan gangguan dari kaumnya masing-masing. Setelah itu datanglah kepada mereka pertolongan dan kemenangan di dunia dan di akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/252).

Hijrah adalah pengorbanan. Selain harus menempuh perjalanan yang berat dengan jarak lebih dari 400 km, kaum Muslim menghadapi dua ujian dalam berhijrah. Pertama: Ujian keimanan. Mereka harus meninggalkan negeri asal mereka, harta benda, tempat tinggal bahkan keluarga mereka. Mereka berpindah ke negeri yang di sana tak ada sanak kerabat. Mereka pun tidak dijanjikan akan mendapat tempat tinggal baru atau mata pencaharian baru sebagai ganti harta yang mereka tinggalkan. Hanya bermodalkan keyakinan pertolongan Allah SWT mereka berhijrah. Allah SWT pun memberikan pujian dan pahala berlimpah kepada kaum Muhajirin.

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللَّهُ رِزْقًا حَسَنًا وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

Orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka dibunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberi mereka rezeki yang baik (surga). Sungguh Allah adalah sebaik-baik Pemberi rezeki (TQS al-Hajj [2]: 58).

Kedua: Kaum Muslim yang berhijrah juga menghadapi ujian pengorbanan dan penentangan dari kaumnya. Zainab binti Rasulullah saw., misalnya. Ia harus rela berpisah dengan suaminya, Abu al-Ash bin Rabi, yang masih musyrik dan menolak ikut berhijrah. Keluarga suaminya juga menghadang Zainab yang tengah hamil empat bulan hingga dirinya terjatuh dan mengalami keguguran. Setelah pulih dari lukanya, Zainab kembali berangkat berhijrah meninggalkan suaminya.

Sahabat lain, Suhaib ar-Rumiy ra., sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir, 1/421), mengorbankan harta yang dia bawa dari rumahnya untuk diberikan kepada kaum musyrik yang menghadang dirinya di perjalanan ketimbang ia kembali ke Makkah. Setibanya di Madinah dan ia menceritakan peristiwa yang ia alami, termasuk harta yang ia berikan kepada para penghadangnya, Rasulullah saw. memuji dirinya, “Beruntunglah perdagangan Suhaib!” Dua kali pujian itu diulang Nabi saw. Kemudian turunlah firman Allah SWT:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ

Di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari ridha Allah. Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya (TQS al-Baqarah [2]: 207).

Perubahan Kekuatan

Hijrah Nabi saw. ke Madinah bukanlah karena beliau ingin menghindar dari kesulitan demi kesulitan yang menghadang dakwah beliau selama di Makkah. Hijrah juga bukan karena Rasulullah saw. sudah tidak bisa bersabar lagi menghadapi rintangan dakwah. Namun, beliau menyadari bahwa masyarakat Makkah berpikiran dangkal, bebal dan berkubang dalam kesesatan. Karena itu beliau melihat bahwa dakwah harus dialihkan dari kondisi masyarakat semacam ini ke kondisi masyarakat yang kondusif dan siap menerima Islam.

Allah SWT lalu memberikan pertolongan dengan kedatangan orang-orang suku Aus dan Khazraj dari Yatsrib (Madinah). Dua kabilah ini terkenal dengan kekuatan mereka karena terbiasa berperang. Negeri mereka pun memiliki posisi geostrategis yang luar biasa. Terletak di jalur perdagangan antara Makkah dan Syam. Hal ini mencemaskan orang-orang Quraisy seandainya Rasulullah saw. berkuasa di Madinah.

Madinah juga memiliki lahan yang lebih subur ketimbang Makkah karena terletak di antara dua tanah vulkanik; al-Wabarah di Barat, Waqim di Timur, Uhud dan Sil’u di Utara, serta gunung Ir di Barat Daya. Selain memberikan kesuburan, posisi Madinah yang demikian secara militer membuat wilayah ini sulit untuk diterobos dan diserbu musuh.

Ini disadari oleh kaum musyrik Quraisy. Mereka mencemaskan Islam menjadi kekuatan besar yang bisa mengalahkan mereka. Karena itu mereka berusaha keras menghadang hijrah kaum Muslim, khususnya Rasulullah saw. Namun, dengan izin Allah, beliau dapat menerobos kepungan orang-orang kafir Quraisy dan lolos dari kejaran mereka hingga beliau tiba di Madinah.

Setiba di Madinah, Rasulullah saw. melakukan sejumlah langkah untuk membangun kekuatan dalam wujud Negara Islam pertama di dunia yang kokoh. Pertama: Rasulullah saw. berhasil menyatukan suku Aus dan Khazraj yang bermusuhan. Beliau juga mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar.

Kedua: Rasulullah saw. mengikat seluruh pihak di Madinah dan sekitarnya, seperti kaum musyrik dan Yahudi, dengan Piagam Madinah. Tujuannya, antara lain, agar eksistensi Negara Islam yang dibangun tidak digoyahkan oleh siapapun. Semua terikat dengan Piagam Madinah untuk saling menjaga dan melindungi. Mereka tidak boleh bersekutu dengan musuh untuk menyerang satu sama lain. Semua pihak setuju untuk tunduk pada hukum-hukum Islam (Lihat: Piagam Madinah, Klausul no. 45).

Ketiga: Rasulullah saw. menyusun struktur pemerintahan Islam di Madinah dan menjalankan syariah Islam secara kaffah di sana. Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab ra. diangkat sebagai mu’awin atau pembantu beliau dalam pemerintahan. Nabi saw. bersabda:

وَزِيرَايَ مِن السَّمَاء جِبْرِيل وَ مِيكَائِيل وَ مِن أَهْلِ الأَرْضِ أَبُو بَكر وَ عُمَر

Pembantuku dari langit adalah Jibril dan Mikail, sementara pembantuku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar (HR al-Hakim dan Tirmidzi).

Rasulullah saw. mengangkat Qais bin Saad sebagai pimpinan Kepolisian sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. Beliau juga mengangkat sejumlah sahabat sebagai komandan pasukan untuk ekspedisi militer jihad fi sabilillah.

Dakwah Islam dan jihad fi sabilillah pun dilakukan oleh Rasulullah saw. selama hidup di Madinah. Beliau antara lain memimpin Penaklukan Makkah pada tanggal 17 Ramadhan 8 H dengan mengerahkan 10 ribu tentara kaum Muslim. Saat Rasulullah saw. wafat, seluruh Jazirah Arab telah masuk ke dalam kekuasaan kaum Muslim (Negara Islam). Ekspansi Islam ini diteruskan oleh Khulafa ar-Rasyidin, lalu oleh para khalifah berikutnya.

Wahai kaum Muslim! Peristiwa hijrah telah memberikan keteladanan dan pelajaran penting. Betapa perubahan masyarakat menuju tatanan yang penuh rahmat dan keadilan tidak mungkin terjadi tanpa Islam. Perubahan tersebut tak mungkin terjadi tanpa pengorbanan. Kaum Muslim generasi awal telah mencontohkan bahwa kemenangan dan perubahan besar itu hanya bisa karena pengorbanan yang besar di jalan Allah. Semoga kita bisa mengikuti jejak mereka. Aamiin.

WalLahu a’lam. []

—*—

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu dan yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (TQS at-Taubah [9]: 100). []

—*—

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah205m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah205

PERERAT UKHUWAH DI TENGAH WABAH


Buletin Dakwah Kaffah No. 204 (27 Dzulhijjah 1442 H-06 Agustus 2021)

Sampai saat ini, setelah hampir dua tahun, wabah virus Covid-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Tentu sudah banyak korban berjatuhan. Lebih dari seratus ribu orang meninggal dan tiga setengah juta yang terpapar. Jutaan bahkan puluhan juta orang terdampak secara ekonomi. Sebabnya, sejak kemunculan pandemi Covid-19, demi pencegahan penularan virus, sejumlah pembatasan kegiatan masyarakat dilakukan. Dari mulai PSBB, PPKM darurat hingga PPKM level 3-4 saat ini. Semuanya tanpa kompensasi sama sekali dari Pemerintah yang diberikan kepada rakyatnya. Padahal dengan kebijakan pembatasan tersebut, tentu banyak kegiatan usaha masyarakat terpaksa berhenti. Pusat-pusat perbelanjaan pun banyak yang sepi. Banyak perusahaan tak lagi beroperasi. Akhirnya, kini banyak orang menganggur dan gigit jari. Betapa hidup makin sulit meski sekadar mencari sesuap nasi.

Pada saat yang sama, bantuan sosial dari Pemerintah malah dikorupsi. Padahal tanpa dikorupsi pun, bantuan dari Pemerintah selama ini jauh dari kata memadai. Hanya cukup untuk satu-dua hari. Tak cukup untuk bekal hidup sebulan. Apalagi untuk hidup berbulan-bulan. Padahal sejak pandemi, jutaan kepala keluarga banyak yang berpenghasilan tak karuan. Jauh dari harapan. Bahkan banyak yang tak berpenghasilan sama sekali. Akhirnya, untuk bertahan hidup, banyak yang mengandalkan belas kasihan dan pemberian orang lain.

Sayangnya, sejak awal kita tidak terlalu berharap banyak kepada Pemerintah. Terbukti, sejak awal Pandemi, kebijakan Pemerintah tampak lebih berpihak pada kepentingan oligarki daripada kepada rakyat kebanyakan. Pemerintah lebih berkepentingan menyelamatkan bisnis para kapitalis daripada menyelamatkan jutaan nyawa rakyat. Itulah mengapa, sampai saat ini, kebijakan lockdown tak kunjung segera diambil. Alasannya, kebijakan lockdown dianggap akan merugikan secara ekonomi, terutama tentu berdampak pada bisnis para kapitalis. Alasan lainnya, tentu karena kebijakan lockdown —sesuai UU Kekarantinaan— mewajibkan Pemerintah untuk memberikan kompensasi untuk rakyat. Inilah yang sejatinya dihindari oleh Pemerintah. Kompensasi untuk rakyat dianggap sebagai beban. Padahal konon Pemerintah sudah menghabiskan seribuan triliun rupiah dana pinjaman yang dimaksudkan untuk mengatasi pandemi dan segala dampaknya. Namun, semua itu seolah tak berarti. Sebabnya, dana sebanyak itu tak banyak dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Boleh jadi malah lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang yang notabene para kapitalis.

Pererat Ukhuwah

Di tengah-tengah Pemerintah yang gagal mengurus rakyat, khususnya pada saat wabah seperti ini, tentu penting bagi kita, kaum Muslim, makin mempererat ukhuwah. Makin meningkatkan kepedulian. Makin melipatgandakan bantuan untuk melepaskan beban mereka yang sedang ditimpa kesulitan akibat terdampak wabah.

Kaum Muslim harus menyadari bahwa memelihara dan mempererat ukhuwah islamiyah adalah kewajiban setiap Muslim. Kewajiban ini didasarkan pada sejumlah nas al-Quran maupun as-Sunnah. Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ

Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara (TQS al-Hujurat [49]: 10).

Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar kuat, bahkan lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. Karena bersaudara, normal dan alaminya kehidupan mereka diliputi kecintaan, perdamaian dan persatuan, saling memperhatikan, saling menguatkan, saling peduli serta saling membantu dalam ragam kesulitan.

Adapun di dalam as-Sunnah, Rasulullah saw. antara lain bersabda:

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan satu bangunan. Sebagian menguatkan sebagian lainnya (HR Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).

Tingkatkan Kepedulian

Salah satu perwujudan hakiki ukhuwah islamiyah adalah saling peduli, khususnya saat banyak saudara sesama Muslim ditimpa ragam kesulitan, terutama pada saat-saat wabah seperti ini. Di sinilah pentingnya kaum Muslim untuk saling membantu dan saling menolong. Apalagi membantu atau menolong sesama Muslim merupakan salah satu amal shalih yang utama dan agung. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

Siapa saja yang menghilangkan satu kesusahan seorang Mukmin di antara kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan menghilangkan dari dirinya satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan pada Hari Kiamat. Siapa saja yang memudahkan orang yang sedang kesulitan, niscaya Allah memberikan kemudahan bagi dirinya di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim, niscaya Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya (HR Muslim).

Karena itulah, tidak boleh kita tidak saling peduli. Dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan, ketidakpedulian seorang Muslim terhadap Muslim lainnya seolah-olah disamakan dengan ketidakpedulian kepada Allah SWT. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda: Sungguh Allah SWT berfirman pada Hari Kiamat nanti (yang artinya), “Hai manusia, Aku pernah sakit. Mengapa engkau tidak menjenguk-Ku.” Manusia menjawab, “Tuhanku, bagaimana aku menjenguk-Mu, sementara Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Allah SWT berfirman, “Bukankah engkau dulu tahu hamba-Ku si fulan pernah sakit di dunia, tetapi engkau tidak menjenguk dia? Bukankah engkau pun tahu, andai engkau menjenguk dia, engkau akan mendapati Aku ada di sisinya? Hai manusia, Aku pernah meminta makan kepada engkau di dunia, tetapi engkau tidak memberi Aku makan.” Manusia menjawab, “Tuhanku, bagaimana Aku memberi Engkau makan, sementara Engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah SWT menjawab, “Bukankah engkau tahu, hamba-Ku pernah meminta makan kepadamu, tetapi engkau tidak memberi dia makan? Bukankah andai engkau memberi dia makan, engkau mendapati Aku ada di sampingnya?” (HR Muslim).

Melepaskan beban atau kesulitan orang lain adalah bagian dari kepedulian kita kepada sesama Muslim. Ini diperintahkan secara tegas oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang Muslim demi memenuhi kebutuhannya lebih aku sukai daripada beritikaf di masjid selama dua bulan…Siapa saja yang berjalan menyertai saudaranya yang Muslim demi memenuhi suatu kebutuhannya hingga dia mampu meneguhkan keadaannya, Allah akan meneguhkan kedua kakinya pada Hari Kiamat nanti pada saat banyak kaki-kaki manusia tergelincir…” (HR ath-Thabarani, Mu’jam al-Kabîr, III/11).

Bahkan memenuhi kebutuhan orang lain itu sebaiknya mesti dilakukan sebelum diminta oleh yang bersangkutan. Abdullah bin Ja’far berkata, “Sungguh orang yang disebut pemurah itu bukanlah orang yang memberi engkau setelah diminta. Namun, orang pemurah itu adalah orang yang memberi tanpa diminta. Sebabnya, sungguh usaha yang dikerahkan orang-orang yang meminta kepadamu jauh lebih keras dari apa yang engkau berikan kepada dirinya.” (Ibn Abi ad-Dunya’, Qadhâ’ al-Hawâ’ij).

Perbanyak Sedekah

Karena itulah siapa saja yang diberi kemampuan lebih, hendaklah ia banyak bersedekah. Apalagi saat ini, banyak orang susah akibat terdampak wabah. Mereka tentu memerlukan uluran tangan dan sedekah kita. Apalagi sedekah atau infak hakikatnya adalah “memberikan pinjaman” kepada Allah SWT, yang akan dibalas dengan berlipat ganda, sebagaimana firman-Nya:

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

Siapa saja yang memberi Allah pinjaman yang baik (menginfakkan hartanya di jalan-Nya), Dia akan melipatgandakan pembayarannya dengan berkali-kali lipat (QS al-Baqarah [2]: 245).

Dalam hal bersedekah kita harus meneladani para Sahabat Rasulullah saw. Abdurrahman bin Auf adalah satu di antara para Sahabat Rasul saw. yang paling rajin mengeluarkan sedekah atau infak untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim. Beliau, misalnya, pernah menjual tanahnya seharga 40 ribu dinar. Seluruh hasil penjualannya lalu ia bagi-bagikan kepada fakir-miskin, termasuk kepada para istri Nabi saw. (HR al-Hakim).

Kegemaran bersedekah dan berinfak juga ditunjukkan antara lain oleh Aisyah ra. dan Asma ra. Abdullah bin Zubair ra. menuturkan, “Aku tidak melihat dua orang wanita yang lebih murah hati daripada Aisyah dan Asma sekalipun cara keduanya berbeda. Aisyah biasa mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, setelah terkumpul banyak, harta itu ia infakkan semuanya. Adapun Asma tidak pernah sedikit pun menyimpan harta hingga keesokan harinya (karena semuanya ia infakkan hari itu juga).” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad).

Semoga kita bisa meneladani mereka. WalLahu a’lam bi ash-shawab. []

—*—

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda

مَا مِنْ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ مِنْ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللَّهُ إِلاَّ طَيِّبًا وَلاَ يَصْعَدُ السَّمَاءَ إِلاَّ طَيِّبٌ إِلاَّ وَهُوَ يَضَعُهَا فِي يَدِ الرَّحْمَنِ أَوْ فِي كَفِّ الرَّحْمَنِ فَيُرَبِّيهَا لَهُ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ فَصِيلَهُ حَتَّى إِنَّ التَّمْرَةَ لَتَكُونُ مِثْلَ الْجَبَلِ الْعَظِيمِ

“Tidaklah seorang hamba Mukmin bersedekah dengan harta yang baik—sementara Allah tidak akan menerima kecuali yang baik-baik dan tidak akan naik ke langit kecuali yang baik-baik—melainkan dia telah meletakkan sedekah itu di tangan Allah. Allah akan melipatgandakan pahalanya sebagaimana seseorang di antara kalian menyemai benihnya atau memelihara anak unta. Jika itu berupa sebutir kurma, niscaya ia akan tumbuh sehingga menjadi seperti gunung yang sangat besar.” (HR Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi).[]

—*—

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah204m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah204

KEYAKINAN, KETAATAN DAN KEMENANGAN


Buletin Kaffah No. 202 (13 Dzulhijjah 1442 H/23 Juli 2021)

Tahun ini, umat Islam merayakan Hari Raya Idul Adha 1442 H masih dalam suasana penuh keprihatinan. Pandemi Covid-19 belum berakhir. Pada saat yang sama, ekonomi makin terpuruk. Utang luar negeri makin membengkak. Daya beli masyarakat kian menurun. Belum lagi korupsi selama masa pandemi ini makin menjadi-jadi.

Kerusakan demi kerusakan terjadi. Tentu harus segera diperbaiki. Solusi tunggal atas segenap masalah yang menimpa umat ini adalah mengembalikan kehidupan Islam dengan penerapan syariah Islam secara kaffah. Penerapan Islam kaffah merupakan kemenangan hakiki, sekaligus wujud ketaatan umat. Ketaatan tentu memerlukan modal penting berupa keyakinan.

Keyakinan Nabi Ibrahim dan Ismail as.

Pada syariah kurban, kita mengenang kembali peristiwa agung pengorbanan Nabi Ibrahim as. dalam menaati perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail as. Bagi Nabi Ibrahim as., Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya yang telah lama didambakan. Namun, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah kepada beliau untuk menyembelih putra kesayangannya itu. Beliau pun dengan penuh keyakinan, tanpa keraguan sedikitpun, segera menjalankan perintah-Nya. Keyakinan yang kokoh pada diri Nabi Ibrahim bahwa ini adalah perintah Allah SWT telah menyingkirkan kecintaan yang rendah, yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia. Perintah amat berat itu pun disambut oleh Ismail as. dengan penuh kesabaran. Ismail as. pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya (Lihat: QS ash-Shaffat [37]: 102).

Begitulah hebatnya akidah. Keyakinan yang tertancap kuat dan tak tergoyahkan telah mampu melahirkan ketaatan total tanpa mempertimbangkan hal-hal duniawi. Keyakinan semacam ini seharusnya melahirkan kecintaan untuk kembali pada syariah Allah. Tentu dengan sekuat tenaga menerapkan syariah-Nya dalam kehidupan.

Hari Kemenangan

Hari Raya umat Islam identik dengan hari kemenangan. Pertanyaannya: Sudahkah kita menjadi pemenang? Kemenangan hakiki adalah ketika umat Islam menjadi umat yang taat (bertakwa) kepada Allah SWT.

Sayang, saat ini kita menyaksikan masih banyak perintah Allah SWT yang belum diamalkan. Masih banyak larangan-Nya yang dilanggar. Singkatnya, masih banyak hukum-hukum syariah yang dicampakkan. Terutama berkaitan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara; dalam bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan lain sebagainya.

Saat syariah Islam belum diterapkan secara kaffah dalam kehidupan, saat itu pula kehidupan kaum Muslim terpuruk, terjajah, hancur dan tertindas. Saudara-saudara kita di Palestina, Suriah, Irak, Afganistan, Xinjiang, Chechnya, Rohingya, Thailand Selatan, Filipina Selatan, dsb dijajah, disiksa dan banyak yang diusir dari negerinya. Tak ada yang melindungi dan membela mereka.

Pangkal keterpurukan ini adalah karena umat Islam telah banyak menyimpang dari al-Quran. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah SWT:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sungguh bagi dia penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).

Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah “menyalahi perintah-Ku dan apa saja yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/323).

Adapun penghidupan yang sempit—di dunia—tidak lain adalah kehidupan yang semakin miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya, tertindas dan sebagainya, sebagaimana yang kita saksikan dan rasakan sekarang ini di Dunia Islam.
Hari Raya Idul Adha sudah berlalu. Tugas kita adalah membuktikan bahwa kita adalah umat yang layak dan berhak untuk disebut sebagai umat yang bertakwa di hadapan Allah SWT, yakni yang siap tunduk secara total kepada syariah-Nya.

Kunci Meraih Kemenangan

Ada tiga kunci untuk meraih kemenangan umat Islam: Pertama, memantaskan diri sebagai hamba yang kokoh keimanannya, mendalam keilmuannya dan dekat dengan Allah SWT. Kedua, maksimal dalam melakukan upaya perubahan dari suatu kondisi menuju kondisi lain yang lebih baik. Ketiga, sabar atas panjangnya perjuangan dan atas tipudaya musuh.

Mengapa harus memantaskan diri dari sisi keimanan dan ketakwaan? Karena kemenangan bagi umat Islam adalah karunia dari Allah. Yang wajib kita lakukan adalah melakukan ikhtiar dalam perjuangan untuk mengubah keadaan dunia yang sebelumnya jauh dari aturan Islam, menuju keadaan yang tunduk dan patuh pada aturan Allah SWT. Inilah perubahan menuju penerapan syariah Islam secara kaffah.

Perubahan itu harus diupayakan sendiri oleh umat Islam. Sebabnya, Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sungguh Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (TQS ar-Ra’d [13]: 11).

Artinya, perubahan bisa bermakna mengubah keadaan yang buruk menjadi baik. Bisa juga bermakna merawat anugerah yang baik dari Allah agar tidak berubah menjadi buruk karena perilaku kita. Hal kedua inilah yang dijelaskan oleh Imam al-Qurthubi dan Imam al-Baidhawi saat menafsirkan ayat di atas.

Adapun terkait sabar, Allah SWT berfirman:

وَٱصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِٱللَّهِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِى ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ – إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوا وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ

Bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu tidak akan terwujud kecuali dengan pertolongan Allah. Janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka. Jangan (pula) bersempit dada terhadap tipudaya yang mereka rencanakan. Sungguh Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan para pelaku kebaikan (TQS an-Nahl [16]: 127-128).

Karena itu bersabar menghadapi musuh dakwah yang menyalahi dan menentang dakwah adalah kunci kemenangan. Ini adalah sunnatullah.

Mengembalikan Kemenangan

Berbicara kemenangan hakiki, penting bagi kita menengok momen khutbah Haji Wada’ Rasulullah. Saat melaksanakan haji tersebut, Nabi saw. berkhutbah di hadapan khalayak. Beliau berkhutbah tidak hanya sekali. Beliau berkhutbah di Hari Arafah, di Hari Nahr dan di pertengahan Hari Tasyrik.

Beliau berwasiat, memberi nasihat dan memberi pengarahan sehingga ketika beliau meninggalkan umat ini, mereka dalam keadaan terang-benderang.

Beliau berpesan terkait perlindungan darah, harta dan kehormatan. Wujud perlindungan tersebut dijelaskan dalam rangkaian khutbah panjangnya. Perlindungan tersebut meniscayakan ikatan akidah (bukan kesukuan), kepemimpinan Islam dengan model al-khulafa’ al-rasyidun dan fondasi kepemimpinan tersebut berupa akidah Islam. Jabir bin Abdullah ra. mengatakan, ketika matahari mulai tergelincir pada hari Arafah, Nabi saw. berkhutbah, antara lain:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

Sungguh darah dan harta kalian haram (suci) seperti sucinya hari kalian ini, di negeri kalian ini dan pada bulan kalian ini (HR Muslim).

Usai Baginda Nabi saw. menyampaikan Khutbah Wada’ yang cukup panjang, turunlah firman Allah SWT terkait kesempurnaan Islam:

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا

Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan nikmat-Ku bagi kalian dan telah meridhai Islam sebagai agama kalian (TQS al-Maidah [5]: 3).

Saat ini, ikhtiar mengembalikan kemenangan umat Islam bermakna membawa umat pada posisi terbaik, sebagai kekuatan di dunia yang diperhitungkan dalam percaturan politik global. Perjuangan mengembalikan kekuatan umat ini memang tidak mudah dan tidak ringan. Momentum Hari Raya Idul Adha yang telah berlalu, yang insya Allah telah melahirkan kembali banyak umat Islam yang memiliki kadar keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT yang tinggi, menjadi modal bagi terbitnya fajar kemenangan Islam di muka bumi ini (Lihat: QS an-Nur [24]: 55).

Penutup

Kemenangan demi kemenangan yang berhasil diraih Rasulullah saw. dan para Sahabatnya serta para khalifah sesudahnya adalah karena mereka menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan mereka. Ini pulalah yang menjadikan generasi Islam terdahulu mampu membangun kekuatan “super power”, yang disegani kawan dan ditakuti lawan.

Kepemimpinan Islam inilah yang mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya, baik Muslim maupun non-Muslim; mampu melahirkan para pejuang Islam yang tangguh dalam mengemban misi pembebasan di berbagai negeri; mampu menumbuhsuburkan perkembangan sains dan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia; mampu menjadikan negeri Islam sebagai kiblat perkembangan sains dan teknologi pada saat bangsa Eropa masih tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan. Itulah kemenangan umat Islam dan kebaikan untuk dunia.

Setelah merayakan kemenangan Idul Adha sebagai kemenangan personal, semoga kita bisa segera merayakan kemenangan kolektif umat dalam percaturan politik dunia. []

—*—

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ رُسُلًا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ فَجَاءُوهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَانْتَقَمْنَا مِنَ الَّذِينَ أَجْرَمُوا وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ

Sungguh Kami telah mengutus sebelum engkau (Muhammad) beberapa orang rasul kepada kaum mereka. Para rasul itu datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup). Lalu Kami melakukan pembalasan terhadap para pendosa. Hak Kamilah untuk menolong kaum Mukmin. (TQS ar-Rum [30]: 47). []

—*—

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah202m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah202

Kotak Sekulerisme


nikmat! nikmatilah kau yang sudah mapan di sisi Tuhanmu

nikmatilah tanpa batas, biarkan mereka yang awam menyanjung yang tersanjung! Pelik!
Ah lupakan saja mereka yang tergeletak lelah, tergadaikan waktu tersebab sistem yang tak karuan

Engkau, ya engkau.. 

ku tahu membuncahnya hatimu

kacau balau menghadapi situasi marut

Merekalah dirimu!
Ah tak tahulah,

hidup kadang adakalanya

adakalanya terkadang begitu dan begini
Aih, nikmat-nikmat itu terjebak dalam kotak nikmat pribadi. Berbalut agama. Sejak dulu yang sengaja dipisah.

Aih, nestapa-nestapa itu kian melekat erat. Memusingkan siapapun yang terkotak dalam sekulerisme.
Pun, akhirnya aku lalai

Lalai lelah berfikir dan berpuisi….

Seperti malam ini
dims 09.03.2017 | 22.38

Perisai yang Dirindu


Fakta menunjukkan bahwa sikap tendensius hadir dari orang-orang yang membenci Islam dan tidak pro rakyat. Politik tebang pilih, intimidasi pada mereka yang lemah secara strata sosial maupun ekonomi masih menggurita, dan menggigit rakyat.
Pertanyaannya masih sama, mana gelombang panas para intelektual dan ulama, demi pembelaan thdp rakyat? Sibuk apa mereka? Apakah Sama dengan kami yang sibuk mencari urusan perut?
Kami masyarakat kecil, di pelosok desa, tak tahu dan tak tersentuh oleh kepentingan2 dan proses pengurusan penguasa thdp rakyat. Karena bisa jadi kamilah yg nantinya jadi korban ketidakadilan penguasa. Tapi mana suara intelektual dan ulama?
Apakah para ulama dan intelektual menunggu kami lebih tersiksa, sedangkan urusan perut saja setiap hari sudah menyiksa… Padahal kami tak punya kuasa dan jabatan. Juga ilmu pengetahuan. Ujung2nya kamilah yg jadi korban.
Sejatinya kami butuh perisai nyata, tak cukup sekedar perisai lisan, tak cukup sekedar retorika, tp juga perwujudan nyata. Pertanyaannya kapan? Kapan?
#muhasabahdiri

Aku, Sang Pemuja?


Aku bukanlah manusia yang mendewakan demokrasi

Aku bukanlah manusia yang ketakutan akan kedaulatan hukum yang syar’i

.

Aku bukanlah si bisu dan buta yang tersesat membawa Al Maidah 51

serta semua ayat Ilahi dalam sistem semu demokrasi

.

Aku bukanlah pemuja iblis bertopeng tahta, harta, dan wanita

Perhiasan-perhiasan dunia yang telah jadikan racun pembunuh ummat

.

.

Aku hanya manusia biasa

Manusia yang merindukan keadilan

adil di tangan hukum syara

.

Aku hanya ingin kesejahteraan

sejahtera dalam naungan Khilafah

.

.

Apalah artinya demokrasi, bila manusia lupa pada risalah Muhammad

risalah pembawa Rahmat, pembuka kemenangan dan berkah langit dan bumi

.

Apalah artinya demokrasi

bila izzah bukan demi Rabb dan Rasul manusia?

.

.

Bila sudah lelah dengan sistem lemah demokrasi, mengapa jua masih tak henti tuk percaya dan mempertahankannya?

.

Bila telah lelah dengan sistem yang mencampakkan Ilahi, mengapa jua masih berfoya dalam kesesatan diri?

.

.

Manusia memang tempatnya alpa, tapi apakah masih dikatakan alpa ketika manusia sengaja lupa pada Tuhannya?

©Umbra| 02.09 | 16.02.2017

Dialog Harian: Tanda-tanda Perut Mulas


A: Bing, nape muka lu merah?
B: Aisshh, lu belum baca berita hari ini ya? Berita itu bikin gue penasaran en nahan rasa sakit di perut.
A: Lu mau muntah bing? Emang berita apaan sih?
B: Bukan, Aisshh… Gue pengen ketawa cuma malu, ntar dikira gue ngejek en gak percaya sama berita itu…
A: Berita apaan sih, Bing? Apa? Apaa e? Penasaran gua…
B: Ini nih Aisshh, cek aja beritanya di link-link ini nih. Gue udah ngumpulin beritanya, en juga ndenger infonya di siaran radio daerah gua. Kecuali tivi ye… Berita itu aneh, jadi gue bingung mau nyikapin gimana? Baca lebih lanjut

Sekulerisme


Sekulerisme memandang kesamaan setiap orang utk mencapai hak2nya, mulai dari hak individual hingga hak politis; tanpa membedakan identitasnya, mulai dari identitas agama hingga jenis kelamin. Cita2 kehidupan yg harmonis mgkn bisa terwujud, jika rakyatnya memang mau diatur dg aturan sekuler.

Tapi mengapa muslim tampak sering menjadi penghambat bagi tegaknya sekulerisme? Utk menjawabnya, coba kita lihat bagaimana cara berpikir Islam. Islam adalah agama yg mengakui Allah sebagai sesembahan manusia. Sbg sesembahan manusia, Allah menurunkan panduan hidup bagi manusia dlm bentuk wahyu. Wahyu dalam Islam memiliki kapasitas layaknya ideologi, yakni ia memiliki satu pemikiran yg menjadi pokok bagi pemikiran lainnya yaitu tauhid, dan ia memiliki banyak pemikiran2 cabang yg berfungsi sebagai problem-solver bagi manusia. Kemampuan Islam sebagai ideologi bukanlah sesuatu yg dipaksakan, karena memang demikian realita kemampuannya.

Maka wajar jika muslim yg beriman pada Tuhannya dan syariat Tuhannya, ia akan tegas menolak sekulerisme yg bertentangan dg tauhid. Hal itu ia lakukan bukan untuk kepentingannya sendiri, melainkan utk membagi keadilan pengaturan Islam pada orang lain. Dengan kata lain, supaya orang lain tidak lebih memilih sekulerisme yg tidak lebih baik daripada aturan Islam. Muslim melakukan itu karena dia percaya pada kemampuan aturan Tuhannya yg sempurna.

Demikian. Semoga bisa menjadi bahan diskusi yg baik kepada siapapun yg bersedia menanggapinya.

Ditulis oleh Ahsani Pramudita
https://www.facebook.com/ahsani.pramudita

CH: Beginikah Opini Umum Masyarakat? (ketika Ahok, Dimas Kanjeng, dan Jessica menjadi Trending Topic)


Selalu bertanya dalam hati, kenapa masih ada orang yang fanatik dengan sekulerisme, demokrasi, dan semacamnya? Mereka terkesan merasa ogah dengan sebagian hukum Islam, hingga bermaksud menjauh dengan orang-orang Islam fanatik. #Tanyakenapa.
Manusia memang tidak sempurna. Karena ketika manusia-manusia fanatik selalu dicari kekurangannya, pasti ketemu! Hingga itu semua seakan menjadi penutup kebenaran diin yang ia (manusia fanatik) pegang teguh. #Tanyakenapa
Tapi, fanatik itu apa tho sebenarnya? Apa nggak boleh ya berpegang teguh dengan Islam? Toh, dalam Islam juga sudah jelas, mana yang wajib, sunnah, bahkan haram ketika penunjukan dalilnya juga sudah pasti, tidak bermakna banyak.

Baca lebih lanjut

Dunia Ketiga (Aku)


…. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu… ~Potongan Al-Maidah ayat 48

========

Belajar demi generasi mendatang

Menjaga dalam tunduk ketaatan

Tunduk karena manusia terlalu lemah

Taat karena manusia tak pernah punya kuasa

Bila hati senantiasa hina dihadapan-Nya

Rindu kedamaian persatuan Baca lebih lanjut